6.18.2009

Ketika Cinta Bertasbih



Setelah novel nya Ayat-Ayat Cinta meledak di pasaran, yang menurut republika terjual 200 ribu exemplar, Kang Abik kembali dengan epsiode kehidupan di mesir.
Dalam cerita awal kita akan disuguhkan penggambaran kota alexandria dengan pantainya, sehingga seolah-olah kita serasa turut berada disana. Cukup menghanyutkan yang membuat perasaan ingin sekali berkunjung kesana dan turut menikmati pemandangan laut mediterania. Plus candaan soal kecantikan gadis-gadis mesir; bila ada 3 orang gadis mesir, maka yang cantik ada 6. :)

Penokohan karakter Abdullah Khairul Azzam terasa sedikit berbeda dibanding Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta. Ia lebih "mahasiswa" namun tetap dengan tingginya keilmuan dan kesholihannya. Berbeda dengan Fahri yang berusaha menghidupi dirinya dengan menjadi penerjemah, Azzam adalah mahasiswa abadi yang berkutat dengan bisnis tempe dan bakso ditambah lgi ketring untuk menghidupi dirinya dan keluarganya di Indonesia (ibu dan ke 3 saudara perempuannya). Potret Azzam inilah yang disinggung lebih berjiwa Enterpreneur dan tidak terlalu terkesan ustadz wanna be.
Tidak lengkap tanpa membahas tokoh lain, yang mana terasa sekali kang Abik tidak hanya memfokuskan pada Azzam saja, namun juga pada tokoh pendukung seperti Fadhil dan Furqan (yang setelah lulus masternya tapi menderita batin karena di fonis positif HIV) yang nota bene adalah temannya. Dengan gejolak jiwa dan perasaaan mereka tentang apa itu cinta serta bagaimana mengejawantahkannya ke dalam arah bentuk nyata (baca: pernikahan). Disinilah dicoba dibangun konflik yang lebih utama mengenai konflik batin tokoh-tersebut dan tentunya seputar pergulatan dalam masalah perkuliahan dan cinta.

Dalam novel kali ini yang merupakan episode pertama dari dwiloginya adalah cara pengungkapan perasaan baik itu tokoh wanita maupun tokoh prianya yang menurut saya cenderung agak blak-blakan atau malah sedikit 'vulgar'. Seperti tokoh Tiara yang tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang tertuang dalam suratnya, bagaikan surat may ziadah kepada gibran, penuh emosi dan gelora cinta. berbeda sekali dg ayat2 cinta...

Tapi blum plong membacanya karena ternyata ceritanya masih bersambung ke Ketika Cinta Bertasbih 2, Aku dan siapa saja yang membacanya pasti penasaran tentang arah perjalanan tokoh utama yaitu Azzam selepas lulus dari Univ al Azhar. Apakah settingnya berlanjut di indonesia ataukah ia akan kembali ke mesir untuk menempuh S2. Juga tentang siapa gadis yang akan dipilihnya, si cantik Anna Althafunnisa, Cut Mala, Eliana dan sederet bidadari lainnya..:)
Bagi saya tetap saja ada nada salut terhadap nuansa religius dalam novel ini dimana saat bersamaan kita seperti belajar fiqh, sejarah dan sastra secara bersamaan.

Islam di Jerman, Antara Integrasi dan Rasa Percaya Diri




Seperti kebanyakan komunitas Muslim lainnya di kawasan Eropa, umat Islam di Jerman juga sempat mengalami kekhawatiran terhadap berbagai peristiwa yang senantiasa dikaitkan dengan agama Islam, seperti terorisme, jilbab, hukum syariah, dan sebagainya.

Keberadaan mereka di tanah airnya sendiri terkadang tidak diperhatikan, hanya karena berbeda kepercayaan dengan mayoritas masyarakat Eropa.

''Mayoritas umat Islam saat ini lahir dan besar di Jerman dan tidak bermigrasi. Kami adalah bagian dari Jerman,'' tegas Kepala Islamic Council, Ali Kizilkaya.

Pernyataan tersebut agaknya mewakili aspirasi sekitar 3,5 juta komunitas Muslim Jerman saat ini. Mereka berharap, eksistensi dan keberadaannya di negara Bavaria tersebut diakui, bukan lagi hanya dianggap sebagai warga kelas dua.

Itulah yang kemudian, oleh seorang penulis tenar berdarah Turki, Feridun Zaimoglu, harus dijadikan pendorong bagi segenap Muslim untuk berperan lebih besar dalam berbagai bidang kehidupan. Intinya, papar dia, umat harus tampil percaya diri serta tidak mudah menyerah pada tekanan.

Seiring dengan itu, mulai tumbuh semangat dari sebagian umat untuk mengembangkan Islam di tengah peradaban Jerman. Pun, di kalangan pemuda, mereka cukup antusias dalam bergerak guna mengoreksi stereotipe terhadap Islam yang bukan merupakan agama kekerasan.

Pemerintah Jerman merespons positif langkah tersebut. Hal ini disampaikan oleh Utusan Khusus Menteri Luar Negeri Jerman untuk Dialog Antaragama, Heidrun Tempel, ketika berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu. Ia mengatakan, pemerintah tidak membedakan pemberian fasilitas antara warga Muslim Jerman yang sudah menjadi warga negara yang sah dan warga Jerman lainnya.

Di antaranya termasuk hak politik yang sama dan juga pemberian sejumlah fasilitas dalam peribadatan. ''Saat ini, ada sekitar 206 masjid di Jerman dan fungsinya sama dengan masjid di negara-negara lain,'' jelasnya.

Sarana lain yang diberikan adalah kemudahan dalam media komunikasi. Umat Muslim Jerman kini telah bisa menikmati beragam acara siraman rohani, baik lewat televisi maupun radio. Belum lagi melalui media internet, yang membuat cakupan informasi keagamaan menjadi lebih banyak.

Begitu pula di bidang pendidikan. Pada beberapa sekolah negeri yang ada di sejumlah negara bagian, ada kelonggaran untuk memasukkan mata pelajaran agama Islam, termasuk pemakaian jilbab yang secara resmi sudah diperbolehkan oleh peemrintah.

Oleh karena itu, Hedrun berharap, adanya kebijakan tersebut dapat memperkuat toleransi di masyarakat Jerman. Keragaman budaya, etnis, dan agama hendaknya tidak memicu konflik dan sebaiknya menjadi perekat dalam menyatukan seluruh warga.

Hal yang sama ditandaskan Menteri Dalam Negeri Jerman, Wolfgang Schrauber, yang menilai, keanekaragaman agama akan menjadi tantangan bagi kehidupan bersama kemasyarakatan. Oleh sebab itu, amatlah penting dilakukan dialog antaragama.

''Upaya itu adalah alat di negara yang netral karena menyumbangkan perbaikan pemahaman antarpihak dalam kehidupan bersama yang harmonis,'' katanya, seperti dikutip dari stuttgarter nachrichten 2009.

Menurutnya, pemerintah mendukung penuh dialog antaragama ini karena pemerintah memandang agama sebagai sumber orientasi dan kehidupan kemasyarakatan. Hidup bersama berdampingan tidak akan mungkin terjadi hanya dengan rasionalitas. Oleh sebab itu, sambung dia, di Jerman, terdapat perundangan yang sekuler, namun Jerman bukanlah negara sekuler.

Dalam beberapa tahun terakhir, Islam memang cenderung dikarakteristikkan dengan krisis atau serangan teroris. Hal itu berkembang secara umum di dunia Barat.

Untuk menepis anggapan negatif tersebut, para pemuka agama, tokoh, cendekiawan, serta kalangan masyarakat tak henti mengampanyekan wajah Islam yang damai dan kekerasan tidak termasuk di dalamnya.

Sedikit demi sedikit, upaya ini membuahkan hasil. Masyarakat Eropa dan juga Jerman mulai bisa menerima kehadiran Islam dan umat Muslim walau belum sepenuhnya terhapus kecurigaan.

Di Jerman, warga Muslim menyambut era baru ini. Semangat keislaman semakin meningkat. Komunitas dan organisasi Islam mencari tempat-tempat yang dapat digunakan beribadah dalam jangka waktu lama.

Beberapa asosiasi Muslim bahkan telah mengubah sejumlah bagian ruangan kerja menjadi tempat shalat temporer demi memfasilitasi kebutuhan keagamaan yang semakin bertambah.

Lebih jauh, Wolfgang Schrauber menambahkan, tidak mudah bagi agama yang relatif baru masuk ke Jerman, seperti Islam, untuk dapat menyesuaikan diri. Terlebih, upaya integrasi warga Muslim di negara Barat juga dipengaruhi oleh persepsi negatif mengenai Islam.

Tiga Tantangan
Namun, persoalan ini bukan dihadapi Islam saja. Gereja pun memerlukan waktu yang tak sebentar hingga mereka tidak hanya menerima demokrasi, tapi juga menerapkannya di kehidupan kemasyaratan Kristen. Nah, saat ini Islam sedang menghadapi tantangan untuk memodernisasi diri.

Di antara tantangan terbesar adalah upaya asimilasi warga Muslim di Jerman. Ini akan berlangsung terus. ''Muslim di Jerman harus bertindak sesuai hukum yang berlaku jika mereka ingin berintegrasi,'' kata Wolfgang.

Dia menambahkan, dialog Islam-Jerman juga perlu lebih dikembangkan dalam mempersiapkan solusi, seperti pelajaran agama Islam di sekolah atau panduan prosedur pemakaman Islami.

''Sehingga, kita tidak hanya memperkaya keragaman keagamaan, tetapi juga meneguhkan persatuan dalam kehidupan kemasyarakatan di negara kita,'' ujarnya.

Harapan tersebut sejatinya juga merupakan keinginan seluruh warga Muslim Jerman. Mereka pun menghendaki perbaikan mendasar, baik di lingkup antarmasyarakat maupun di internal umat sendiri.

Berdasarkan pengamatan warga Muslim setempat, setidaknya ada tiga kritik utama yang perlu mendapat perhatian. Pertama, kurangnya sistem pengajaran Islam secara independen. Kedua, ketidakhadiran jaringan komunitas Muslim yang berkelanjutan. Ketiga, fokus lembaga Islam yang masih dominan pada kebutuhan struktural organisasi itu sendiri ketimbang pengembangan masyarakat ke arah luar.

Demikianlah, perjuangan umat Muslim untuk berintegrasi meski kadang pasang surut, itu tetap berlangsung. Merujuk pada penegasan Feridun Zaimoglu di atas, rasa percaya diri haruslah melandasi setiap gerak dan langkah umat sehingga mereka dapat membawa cahaya Islam yang sejati dalam derap peradaban di Jerman dan juga Eropa.

Telah Ada Sejak Era Ottoman




Dalam berbagai literatur sejarah, banyak yang menyebutkan bahwa kehadiran umat Islam di Jerman dan juga sebagian negara di Eropa karena didorong faktor imigrasi dari negara Islam di Afrika Utara, Timur Tengah, Turki, dan Asia, untuk mencari pekerjaan serta alasan politik.

Hal tersebut berlangsung pada era tahun 1960-an hingga 1970-an, sekaligus membuat pertumbuhan penduduk Muslim meningkat pesat. Berdasarkan sensus tahun 2006, jumlah umat Islam di Jerman telah mencapai angka 3,3 juta jiwa atau empat persen dari populasi penduduk.

Akan tetapi, sebenarnya Islam sudah menapakkan jejaknya di Jerman jauh sebelum itu. Islam hadir pertama kali pada masa Kesultanan Ottoman, yaitu pada abad ke-18, di mana kedua bangsa telah menjalin hubungan diplomatik, militer, dan ekonomi.

Sebanyak 12 tentara Ottoman tercatat pernah bergabung dalam pasukan Kaisar Frederick William I dari Prusia (Jerman) pada awal abad ke-18. Pada 1745, Frederick II bahkan meresmikan penggabungan unit pasukan Muslim di ketentaraan Prusia dan menamainya 'Penunggang Muslim'.

Pasukan ini terdiri atas bangsa Bosnia, Albania, dan Tartar. Pada tahun 1760, Prusia menambah lagi unit pasukan Korps Bosnia yang berkekuatan 1.000 tentara.

Bersamaan dengan itu, imigrasi penduduk dari sejumlah negara Islam di kawasan Balkan terus berlangsung. Jumlah mereka terus bertambah. Pada tahun 1798, untuk kali pertama, sebuah pemakaman Muslim dibuka di Ibu Kota Berlin.

Pemakaman tersebut, yang sempat dipindahkan tahun 1866, masih ada hingga kini. Sampai tahun 1900, terdapat lebih dari 10 ribu umat Muslim di Jerman yang kebanyakan berasal dari wilayah Balkan dan Turki.

Ketika Perang Dunia I berkecamuk, sebanyak 15 ribu tawanan Muslim dibawa ke Berlin. Dari sinilah, masjid pertama di Berlin dibangun yang diperuntukkan bagi para tawanan ini. Namun, operasional masjid tersebut tak berjalan lama karena pada tahun 1930 terpaksa ditutup.

Setelah perang usai, masih ada sebagian kecil komunitas Muslim yang menetap di Berlin. Mereka terdiri atas para intelektual dan mahasiswa.

Untuk kali kedua, sebuah masjid didirikan untuk komunitas ini dengan nama Masjid Ahmadiyya di Berlin dan dibuka secara resmi tahun 1924. Imam pertamanya tercatat bernama Maulama Sadr-ud-Din dari India.

Sejak itu, perlahan tapi pasti, kehidupan umat Islam terus berkembang, termasuk dalam kegiatan pendidikan dan organisasi. Islam Colloguium, institusi pendidikan untuk anak-anak, dibentuk untuk pertama kalinya tahun 1932.

Pada masa tersebut, terdapat sekitar 3 ribu umat Islam di Jerman dan 300 di antaranya adalah warga asli. Dimulailah era kejayaan Nazi, yang meski tidak menargetkan umat Muslim secara khusus, mereka tetap merasakan kondisi ketidakadilan dan kecurigaan atas kaum minoritas agama di tengah euforia supremasi ras Aria (kulit putih).

Banyak dari kaum Muslim terpaksa mengungsi ke negara lain. Ketika perang selesai yang dimenangkan pasukan Sekutu, jumlah umat Islam di Jerman hanya tinggal beberapa ratus.

Kebangkitan industri membuka lembaran baru. Pemerintah Jerman mengundang para pekerja asing untuk mengisi posisi pekerjaan di pabrik-pabrik yang telah dibangun. Era tahun 60-an, terjadi gelombang imigrasi dari negara-negara Islam.

Dalam dua dekade, peningkatan jumlah penduduk beragama Islam tercatat sangat pesat. Angkanya mencapai 3 juta jiwa lebih dan didominasi oleh pendatang dari Turki (sebagian besar mereka berasal dari Anatolia, kawasan tenggara Turki). yus/taq

By Republika Newsroom

3.31.2009

Prabowo Lirik Blogger untuk Cari Dukungan


akarta - Berbagai cara dilakukan oleh para calon presiden (capres) untuk memperoleh dukungan. Capres dari Partai Gerindra Prabowo Subiyanto mendekati komunitas blogger untuk mendapatkan dukungan.

"Penting bagi saya membina hubungan dengan teman-teman blogger untuk bersilaturahmi untuk bertukar pikiran tentang kondisi bangsa ini," ujar Prabowo di hadapan para blogger di Amigos Cafe, Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (31/3/2009) malam.

Perkembangan internet yang kian maju membuat Prabowo ingin mendekatkan diri dengan komunitas blogger, karena dunia internet menurutnya masih belum banyak terkontaminasi.

"Pengendalian informasi di Indonesia dikuasai oleh rezim otoriter. Kita ketahui di Indonesia setiap TV milik siapa, koran siapa yang miliki dan sebagainya. Semua media dukuasai oleh politisi," papar mantan menantu Soeharto ini.

"Tetapi media internet berbeda. Internet adalah media terbuka bagi setiap orang untuk melakukan apa pun, tidak selalu kepentingan sepihak politisi saja," imbuhnya.

Dia menambahkan, dengan menjaga hubungan baik dengan para blogger, pesan-pesan yang dia sampaikan selama ini akan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.

( anw / anw )

Cerita dibalik “Negeri van Oranje”


Hidup dan tinggal lama di negara kincir angin memang banyak memberikan inspirasi bagi 4 orang alumni Belanda untuk meluapkan ide-idenya dalam bentuk tulisan.

Menarik untuk menyelami kehidupan mahasiswa Indonesia ala “Belanda” yang dituangkan dalam bentuk novel setebal 477 halaman. Menampilkan Lintang, Banjar, Wicak, Daus, dan Geri sebagai tokoh dibalik buku ini. Sebuah karya cipta luar biasa yang ditelurkan oleh mereka yang terkenang akan sudut-sudut Belanda.

Berikut sinopsisnya:

Kata siapa kuliah di luar negeri itu gampang?

Perkenalkan Lintang, Banjar, Wicak, Daus, dan Geri. Lima anak manusia terlahir di Indonesia, terdampar bersekolah di tanah kompeni demi meraih gelar S2.

Mulai dari kurang tidur karena bergadang demi paper, kurang tenaga karena mesti genjot sepeda 5 km bolak balik ke kampus setiap hari, sampai kurang duit hingga terpaksa mencari pekerjaan paruh waktu; semua pernah mereka alami.

Selain menjalani kisah susah senangnya jadi mahasiswa rantau di Eropa, mereka juga menjalin persahabatan, berbagi survival tips hidup di Belanda, serta bergelut dalam upaya menjawab pertanyaan yang pasti sempat terlintas di benak semua mahasiswa yang pernah bersekolah di luar negeri : Untuk apa pulang ke Indonesia?

Dalam perjalanan menemukan jawaban masing-masing, takdir menuntut mereka memiliki keteguhan hati untuk melampaui rintangan, menggapai impian, serta melakukan hal yang paling sulit: the courage to love!

Kompetisi Blog Berhadiah Summer Course ke Belanda


Kompetisi Blog Studi di Belanda akhirnya diluncurkan Rabu kemarin (11/03) di Oranye Concept Lounge. Hadir dalam peluncuran tersebut Marrik Bellen, Direktur Neso Indonesia, Raditya Dika Kambing Jantan, Antyo dagdigdug, dan Wicaksono Ndoro Kakung.

Sebagai seseorang yang pernah merasakan langsung pengalaman Summer Course di Belanda, Radit yang baru aja meluncurkan film terbarunya mengungkapkan, kita gak perlu takut kendala bahasa Belanda, karena bahasa Inggris dipergunakan oleh hampir semua masyarakat Belanda, termasuk program studinya. Bayangkan, ada lebih dari 1400 program studi berbahasa Inggris.

Hadir teman-teman dari media cetak, antara lain dari Aneka, BGirl, Cosmo Girl, Keren Beken, Media Indonesia, Republika, Antara dan Iradio.

Kompetisi blog ini menjadi unik, karena hadiahnya yang sangat menggiurkan. Gak tanggung-tanggung, Neso akan memberangkatkan pemenang pertama untuk masing-masing kategori (wartawan dan non wartawan) untuk merasakan sendiri Summer Course di Belanda.

Cara ikutannya gimana? Peserta tentu saja harus punyablog pribadi, berdomisili di Indonesia, berusia antara 17-28 tahun (untuk non wartawan) dan maksimal 35 tahun (untuk wartawan)

2.21.2009

Kondom dan Jarum Suntik Noni Inggris

Pengelola Rumah Baca tanpa Titik (Macapat) dan peneliti kebudayaan di Society of Sociological Analitic for Democracy . Elizabeth Pisani memberi dua tawaran kontroversial, keharusan menggunakan kondom di tempat pelacuran dan pemberian jarum steril bagi pengguna narkoba suntik.

AIDS mungkin bagai belusuk (ular laut berbisa). Siapa pun yang sering 'berbasah-basah di laut' bisa tergigit. Lantas apakah cukup melarang individu mandi di laut hanya karena keberadaan belusuk?

Sejak Luc Montagnier dan Francoise Barre-Sinoussi (keduanya meraih Hadian Nobel bidang Kesehatan 2008) menemukan HIV pada 1982, AIDS telah membunuh 25 juta orang. Bahkan hingga kini 33 juta orang di dunia telah terinfeksi HIV. Elizabeth Pisani menuturkan pengalamannya selama berkecimpung dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS melalui buku setebal 589 halaman ini.
Pada 1993, Pisani memutuskan berhenti sebagai wartawan Reuters. Ia memilih mengikuti program master dalam bidang demografi medis. Tak dinyana, jalur itu justru mengantarkannya ke dalam pusaran penanggulangan HIV/AIDS. Noni asal Inggris itu kian sibuk setelah masuk ke UNAIDS pada 1996.

Pisani sadar bahwa menjadi aktivis penanggulangan HIV/AIDS justru meminta kerja ekstrakeras ketimbang saat ia masih berprofesi sebagai kuli tinta. Maka, buku ini pun bercerita tentang ketegaran seorang anak manusia bergelut dengan pilihan profesinya.

Jean Baudrillard (dalam Piliang, 2004:171-172) sempat mengupas persoalan AIDS melalui karyanya berjudul Seduction. Penyakit itu, menurut Baudrillard, muncul sebagai dampak dari sistem tak terkendali yang sebenarnya merupakan kreasi kita sendiri. Sistem itu ialah transparansi dan promiskuitas (jaringan seksual dengan siapa saja) dalam orbit global. Alih-alih meluapkan kenyamanan, analisa Baudrillard malah seperti manusia yang merutuki nasib tanpa berbuat apa-apa.
Pisani melangkah jauh dari sekadar bermuram durja ketika melihat persoalan AIDS. Penyakit itu, menurut Pisani, hanya menular lewat dua bentuk kegiatan, yaitu seks dan narkoba suntik. Globalisasi, kemiskinan dan tinggi rendahnya tingkat pendidikan bukanlah faktor utama yang menjadi tunggangan HIV untuk menyebar ke seluruh dunia.

Maka solusi konkret dari Pisani ialah penggunaan kondom bagi kalangan yang melakukan seks berisiko tinggi dan pemberian jarum steril untuk pengguna narkoba suntik. Tentu solusinya mengundang kontroversi. Ia seperti mengamini berlangsungnya praktik gelap yang ada di belahan dunia.

Realitas Kondom
Pisani memang mengajak kita untuk menjejak di bumi realitas, bukan terus-menerus terbang mengawang di langit idealitas. Misalnya, mampukah menghapus prostitusi (salah satu pekerjaan tertua di muka bumi)? Pisani beranggapan, gerakan penutupan bordil hanya akan mempersulit proses pencegahan AIDS karena para penjaja seks komersial (PSK) tak lagi berada di satu tempat.
Noni dari Inggris ini tak segan masuk ke gerai seks, mulai dari lokalisasi Rawa Malang (Jakarta), bar-bar di Dili (Timor Leste), hingga sejumlah bordil di Dongxing (Tiongkok). Dia menemukan minimnya penggunaan kondom di kalangan pembeli seks dari PSK. Padahal, itulah wahana yang tepat bagi penularan HIV. Maka, aturan ketat penggunaan kondom di lokalisasi, menurut Pisani, mutlak diperlukan untuk mencegah penyebaran AIDS.

Sering berganti pasangan dalam hubungan seksual-—tanpa menggunakan kondom-—dipastikan menjadi penyebab seseorang tertular HIV. Namun, polanya bergantung pada geografis dan kultural suatu daerah. Pada kebanyakan negara di benua Afrika, tak perlu keberadaan prostitusi untuk menularkan HIV.
Demikian pula pola penyebaran HIV melalui jarum suntik yang dipakai bergantian di kalangan pengguna heroin. Walau seluruh dunia mengamini bahwa heroin adalah barang ilegal, tapi pengguna barang itu tak jua susut. Penjara menjadi lumbung penularan HIV melalui jarum suntik (hal.448).

Narkoba yang tidak dikonsumsi secara suntik pun turut berkontribusi pada penyebaran AIDS. Pengguna narkoba yang sedang high memiliki kecenderungan tinggi untuk melakukan hubungan seks tanpa kondom. Pisani mengakui bahwa di Indonesia dan sebagian besar negara di Asia, konsumsi narkoba memang saling tumpang tindih dengan perilaku seks berisiko tinggi dalam pola penularan HIV (hal.169).

Pertaruhan dana
Berbicara tentang upaya penanggulangan, Pisani melihat adanya beberapa kendala. Pertama, birokrat di negara berkembang masih enggan mengucurkan dana bagi pencegahan epidemi AIDS. Hal itu bertolak belakang dengan pejabat di negara maju yang mulai aktif menggelontorkan dolar bagi program penanggulangan HIV/AIDS, walau tentu saja, sebelumnya birokrat di negara maju juga malas melakukan hal itu.

Kedua, datang dari kultur suatu daerah. AIDS masih dipahami sebagai 'penyakit hukuman' bagi kelompok yang berperilaku di luar norma masyarakat. Akibatnya, orang-orang yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS enggan memeriksakan kesehatan mereka karena takut distigma negatif oleh masyarakat.
Ketiga, Pisani mengungkapkan adanya pertarungan antarlembaga yang berkecimpung di dunia narkoba dan AIDS juga sering memecahkan konsentrasi dari kegiatan pencegahan menyebarnya epidemi AIDS. Patut diketahui, kini lembaga internasional yang menangani AIDS bukan hanya UNAIDS. Pertarungan antarlembaga itu terjadi karena perbedaan ideologi yang diusung, hingga berakibat pada cara pandang dan penanganan terhadap AIDS.
Melalui buku ini kita bisa mengetahui bahwa AIDS telah menjadi komoditi yang bisa dijual, dan pengaruhnya mampu merasuk ke relung politik. Bahkan, 'belusuk' itu tak lagi hanya menyebarkan bisanya kepada mereka yang sering 'berbasah-basah di laut'. Para istri setia dan jabang bayi pun memiliki peluang mengidap AIDS karena tertular HIV dari seorang suami yang sering 'jajan' di luar rumah.

Bertualang Keliling Dunia Gara-gara Putus Cinta




Apa yang akan Anda lakukan jika tunangan Anda mencampakkan Anda menjelang pesta pernikahan saat semua undangan telah disebar
dan sebagian tamu tengah berada dalam perjalanan ke kota Anda?

Kehidupan Franz Wisner seolah-olah hancur berantakan ketika tunangannya yang telah dipacarinya selama 10 tahun memutuskan hubungan seminggu sebelum hari pernikahan mereka. Dengan pesta pernikahan dan bulan madu yang telah siap menanti, ada dua pilihan yang tersedia baginya: membatalkan semuanya atau menjalankannya tanpa mempelai wanita. Didukung oleh adiknya, Kurt Wisner, dan para sahabatnya, Franz yang nyaris putus asa mengambil pilihan kedua.

Bulan madu yang awalnya dianggap sebagai gurauan untuk meringankan beban hati, ternyata berubah menjadi pengalaman luar biasa. Franz dan Kurt, dua bersaudara yang semula merasa saling terasing menemukan kembali jati diri dan keintiman mereka. Keduanya kemudian memutuskan berhenti dari pekerjaan mereka, menjual rumah mereka, menyumbangkan pakaian dan perabot mereka, membuang ponsel dan penyeranta mereka, lalu pergi bersama mengelilingi dunia.

Setelah bertualang selama empat tahun dan menyinggahi lebih dari enam puluh negara, termasuk Indonesia, hubungan mereka justru semakin erat. Franz yang semula patah hati akhirnya menemukan makna hidup yang baru.
Perjalanan mereka pun berubah menjadi sebuah cara baru menikmati hidup. Dari alam liar Amerika Latin hingga Eropa Timur dan Timur Tengah, dari Afrika hingga Asia Tenggara, Australia dan Selandia Baru, setiap petualangan baru membawa mereka ke tempat-tempat yang lebih unik dan menarik, diwarnai aneka kisah seru yang mereka alami.

Lucu, menyentuh, dan sekaligus sangat menghibur, buku ini bakal memancing hasrat bepergian Anda. Mengikuti kedua bersaudara itu sedikit demi sedikit menanggalkan setiap rutinitas harian mereka dan hidup bebas merdeka, mau tak mau Anda akan berharap dapat melakukannya juga