10.05.2008

Puasa dan Tradisi Filantropi.

Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta ...
oleh :Zainul Bahri

Puasa telah datang kembali ke rumah kita. Ibarat tamu, ia bukan tamu sembarangan. Kedatangannya amat didambakan oleh kaum muslim yang beriman.

Secara fungsi, puasa dapat menggerus lemak-lemak dan toksin dalam tubuh dan jiwa kita, karena itu orang yang berpuasa dijamin sehat jasmani dan rohani. Konon, dalam tradisi spiritualisme Islam, di bulan ini dosa-dosa dilebur, doa-doa dikabulkan, dan sedekah serta segala amal bajik dilipatgandakan pahalanya.

"Puasa adalah (persembahan) untuk-Ku dan Aku Sendiri yang langsung memberi pahala bagi pelakunya". Demikian sabda Tuhan dalam sebuah hadits qudsi yang amat populer. Puasa adalah sosok tamu yang amat istimewa karena hanya Tuhan dan yang bersangkutan saja yang tahu sama tahu.

Karena itu Dia langsung mengulurkan tangan-Nya untuk (segala hajat) sang pelaku. Lebih dari apa pun, dengan berpuasa ini terjalin kontak, kedekatan dan kemesraan sejati antara hamba dan Tuhannya. Karena berbagai keistimewaan ini wajar kiranya jika ada adagium yang populer di kalangan kaum muslim tradisional bahwa barang siapa yang gembira menyambut kedatangan sang tamu ini, Tuhan mengharamkan api neraka menjilat sang tuan rumah.

Walau begitu, mesti diingat bahwa puasa, selain untuk Tuhan, sejatinya juga untuk kita. Bukankah merasakan haus dan lapar adalah momen yang amat penting untuk ikut merasakan sesama kita yang sering merasa lapar karena tak punya sesuatu yang dapat dimakan atau diminum? Lebih dari sekadar merasakan, yang tak kalah penting adalah memberi: sedekah, beasiswa bagi pelajar, atau modal bagi mereka yang telah kehilangan harapan untuk bertahan hidup di tengah gempuran kapitalisme yang bengis dan kejam ini.

Karena itu, tradisi buka puasa di rumah para pengusaha atau pejabat yang kaya mestinya tidak sekadar mengundang teman, kerabat, atau mitra bisnis yang sering bersua, namun juga diramaikan oleh kaum papa yang marginal, janda tua, dan anak-anak yatim panti asuhan dengan bekal masing-masing di tangan ketika pulang dari berbuka.

Inilah tradisi filantropi yang menemukan momentumnya di bulan agung ini. Filantropi biasa diterjemahkan sebagai kedermawanan sosial, kesukarelaan, karitas, sumbangan, infak, sedekah dan lain-lain yang semakna. Istilah ini diambil dari bahasa Yunani: philos (cinta) dan anthropos (manusia, kemanusiaan), karena memberi sedekah kepada yang membutuhkan adalah bentuk cinta kepada sesama.

Idealnya, aktivitas filantropi benar-benar dilakukan karena panggilan Tuhan dan kemanusiaan kita. Namun pada praktiknya faktor kepentingan politik, ekonomi, dan sosial sering menjadi pertimbangan yang utama dalam kegiatan-kegiatan karitas yang dilakukan. Pola itu paling menonjol tentu saja pada saat-saat pemilu atau pemilihan kepala daerah.

Tradisi Filantropi Islam

Dalam sejarah Islam, tradisi filantropi memiliki alur yang panjang ke belakang dan akar yang menghujam ke dalam. Para khalifah, sultan, amir, dan wazir (menteri) banyak memberi sedekah untuk membangun mercusuar dan peradaban emas umat Islam. Alquran dan sunah juga memberi catatan yang amat banyak tentang kewajiban dan keutamaan mengeluarkan zakat, sedekah, wakaf, dan infak.

Dari semua bentuk filantropi dalam sejarah umat Islam, komunitas kaum sufi adalah yang paling menakjubkan. Bayangkan, jika mereka memiliki sesuatu, mereka berikan semua; dan ketika tidak memiliki apa-apa, dirinya rela diberikan kepada sang peminta. Fariduddin ?Athar, seorang sufi kenamaan di abad ke-13, berhasil merekam anekdot-anekdot mengagumkan tentang kaum sufi dalam karyanya yang juga masyhur, Tadzkirat al- Awliya' (Memorial of the Saints, Warisan Para Sufi).

Dikisahkan bahwa Abu Husayn al-Nuri, ketika memulai perjalanan spiritualnya, setiap pagi sebelum salat subuh selalu membagi-bagikan roti kepada fakir-miskin. Itu dilakukannya selama dua puluh tahun. Ada juga kisah tentang seorang sufi yang dijuluki syaikh kepala ikan.

Setiap hari sang sufi mencari ikan di pantai dan semua ikan hasil tangkapannya dibelah dua: kepalanya diambil untuknya, sedangkan batang tubuh ikan seluruhnya dibagikan kepada para tetangga. Demikian dia lakukan berpuluh-puluh tahun hingga dijuluki "syaikh kepala ikan". Ibn ?Arabi lain lagi.

Sufi agung dari Spanyol ini pernah diberi hadiah rumah mewah oleh seorang gubernur, namun ketika ada pengemis datang meminta sedekah darinya dan dia tak memiliki apa-apa, rumah mewah itu diberikan kepada sang pengemis sebagai sedekah! Bagi kita orang biasa (dan modern), apa yang dilakukan kaum sufi di atas sepertinya terlihat "berlebihan" atau "mengada-ada".

Bagaimana mungkin, seorang manusia, dengan segala macam kebutuhannya, mengorbankan dirinya untuk orang lain? Bagaimana mungkin seorang suami, seorang ayah, seorang istri, seorang anak, atau seorang saudara menyerahkan sebagian atau bahkan seluruh hartanya untuk orang lain?

Namun bagi para sufi, hal itu sangat mungkin dan amat membahagiakan mereka. Pengabdian kepada Tuhan juga berarti pengabdian terhadap sesama.Tentu saja pesan moral yang hendak disampaikan dalam anekdot di atas tak lain adalah kerelaan untuk berbagi, berbagi, dan berbagi dengan sesama meski dalam kadar minimal.

Puasa yang kita jalani saat ini bersamaan dengan melonjaknya berbagai macam kebutuhan pokok hidup sehari-hari, yang tentu saja membawa kepedihan bagi mereka yang lemah dan papa (secara ekonomi).

Jika Tuhan menyebut "Puasa adalah untuk-Ku dan Aku Sendiri yang langsung memberi pahala", maka persembahan untuk Tuhan boleh jadi masih kalah derajatnya dibanding bertemu langsung dengan-Nya. Di mana kita dapat menjumpai-Nya? "Temuilah Aku di tengah-tengah orang miskin, orang sakit, dan orang-orang yang sedang sedih karena kesusahan dan kepayahan".

Demikian sabda-Nya dalam hadits qudsi yang lain. Jika kita menghendaki rahmat-Nya secara sempurna, maka berpuasa sambil memberi dan mengulurkan tangan adalah momen yang amat indah. Dari sini, puasa tidak hanya berdimensi spiritual, tetapi juga memiliki fungsi sosial. (*)

No comments:

Post a Comment